DPR menolak permintaan tambahan anggaran pertahanan Rp 9 triliun yang diajukan, Rabu 6 Juli 2011. Permintaan itu, menurut Wakil Komisi Pertahanan DPR Tubagus Hasanudin berasal dari APBN -Perubahan yang akan dipakai untuk optimalisasi pencapaian minimum essential force (MEF) TNI.
"Melihat situasi keuangan negara kita tidak akan bisa sampai Rp 9 triliun," kata Hasanuddin usai rapat dengar pendapat dengan jajaran Kementerian Pertahanan dan TNI di Jakarta, Rabu 6 Juli 2011.
Komisi Pertahanan minta kementerian mengajukan tiga opsi rancangan baru, diantaranya Rp 2 triliun, Rp 2,5 triliun, dan Rp 3 triliun. Menurut Hasanuddin, tiga opsi itu paling mungkin dipenuhi oleh APBN-P.
Komisi juga meminta agar penambahan anggaran ini berimplikasi pada peningkatan nilai ekonomis dari belanja pertahanan. Caranya dengan membeli alutsista (alat utama sistem senjata) dari dalam negeri. "Agar badan usaha industri strategis kita juga berkembang," kata Hasanuddin.
Apalagi jika anggaran itu hanya digunakan untuk pembelian suku cadang, sebaiknya dibeli dari dalam negeri. Pengecualian untuk pembelian alutsista TNI Angkatan Udara yang masih harus diimpor.
Setiap tahun, lanjut Hasanuddin, idealnya pemerintah mengalokasikan Rp Rp 150-180 triliun untuk kebutuhan pertahanan jika ingin mencapai standar MEF sesuai yang dirancang dalam buku biru TNI. Namun, sampai saat ini keuangan pemerintah belum bisa memenuhi sejumlah itu. Ia mengakui pemerintah tidak mungkin mengejar hal ini.
"Tidak mungkin mengejar sesuatu yang akan mengurangi kepentingan publik, seperti pendidikan dan kesehatan," kata Tubagus. Pemegang kendali di lapangan diharapkan bisa memodifikasi kebutuhan ini.
Ia menyarankan TNI menyusun skala prioritas ancaman. Caranya dengan memperkuat sistem pertahanan di wilayah-wilayah yang lebih tinggi tingkat ancamannya. Misalnya di bagian barat Indonesia dan di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan negara lain, juga di wilayah-wilayah yang sering terjadi gesekan.
"Melihat situasi keuangan negara kita tidak akan bisa sampai Rp 9 triliun," kata Hasanuddin usai rapat dengar pendapat dengan jajaran Kementerian Pertahanan dan TNI di Jakarta, Rabu 6 Juli 2011.
Komisi Pertahanan minta kementerian mengajukan tiga opsi rancangan baru, diantaranya Rp 2 triliun, Rp 2,5 triliun, dan Rp 3 triliun. Menurut Hasanuddin, tiga opsi itu paling mungkin dipenuhi oleh APBN-P.
Komisi juga meminta agar penambahan anggaran ini berimplikasi pada peningkatan nilai ekonomis dari belanja pertahanan. Caranya dengan membeli alutsista (alat utama sistem senjata) dari dalam negeri. "Agar badan usaha industri strategis kita juga berkembang," kata Hasanuddin.
Apalagi jika anggaran itu hanya digunakan untuk pembelian suku cadang, sebaiknya dibeli dari dalam negeri. Pengecualian untuk pembelian alutsista TNI Angkatan Udara yang masih harus diimpor.
Setiap tahun, lanjut Hasanuddin, idealnya pemerintah mengalokasikan Rp Rp 150-180 triliun untuk kebutuhan pertahanan jika ingin mencapai standar MEF sesuai yang dirancang dalam buku biru TNI. Namun, sampai saat ini keuangan pemerintah belum bisa memenuhi sejumlah itu. Ia mengakui pemerintah tidak mungkin mengejar hal ini.
"Tidak mungkin mengejar sesuatu yang akan mengurangi kepentingan publik, seperti pendidikan dan kesehatan," kata Tubagus. Pemegang kendali di lapangan diharapkan bisa memodifikasi kebutuhan ini.
Ia menyarankan TNI menyusun skala prioritas ancaman. Caranya dengan memperkuat sistem pertahanan di wilayah-wilayah yang lebih tinggi tingkat ancamannya. Misalnya di bagian barat Indonesia dan di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan negara lain, juga di wilayah-wilayah yang sering terjadi gesekan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar